UMUM

PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN



Foto : Istimewa
Stimulus yang sama mungkin saja dipersepsikan berbeda bahkan berkebalikan oleh dua orang, dalam waktu yang sama. Hal ini terjadi pada kawasan wisata di Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur (Cahyaningrum, 2013). Pada tahun 1970-an, kondisi laut di daerah Bangsring, di pinggir Selat Bali, sangat memprihatinkan. Terumbu karang sebagai tempat berkembang biak ikan, telah rusak parah. Hal ini karena nelayan menggunakan bom dan bahan kimia lainnya sebagai cara untuk menangkap ikan. Dampaknya adalah para nelayan kesulitan menangkap ikan sehingga pendapatannya menurun. Salah seorang nelayan telah menjadi pionir untuk menyelamatkan kawasan wisata itu dengan cara menanam terumbu karang. Ia mempersepsikan bahwa terumbu karang harus dihidupkan kembali, sebagai salah satu cara untuk menaikkan pendapatan dan strategi untuk menjaga lingkungan secara lebih baik. Pionir itu bahkan bersedia menyumbangkan sebagain pendapatannya untuk kegiatan restorasi lingkungan. Nelayan lain, mempersepsikan bahwa restorasi terumbu karang adalah kegiatan yang menyita waktu sehingga pendapatannya berkurang.
Perbedaan persepsi tentang rusaknya terumbu karang, atau kondisi lingkungan hidup buruk lainnya, telah menimbulkan perilaku yang berbeda juga. Satu perilaku lebih ke arah pro lingkungan hidup, sedangkan perilaku lainnya tidak mempedulikan restorasi lingkungannya bahkan justru merusaknya. Padahal di sisi lain restorasi lingkungan membutuhkan waktu jauh lebih lama daripada waktu untuk merusaknya. Selain itu, situasi ekonomi keluarga tidak dapat menunggu selesainya waktu restorasi lingkungan hidup. Oleh karena itu hampir semua orang mempunyai persepsi untuk merusak lingkungan hidup demi mencukupi kebutuhan ekonomi. Hanya segelintir orang saja yang mempunyai persepsi untuk merawat lingkungan hidupnya. Perbedaan persepsi tentang kegawatan kondisi lingkungan hidup inilah yang sering menjadi persoalan dalam masyarakat. Psikologi lingkungan dituntut untuk membantu menumbuhkan persepsi pro lingkungan hidup di masyarakat.
Apa persepsi lingkungan hidup itu? Persepsi terhadap lingkungan hidup adalah cara-cara individu memahami dan menerima stimulus lingkungan yang dihadapinya. Proses pemahaman tersebut menjadi lebih mudah karena individu mengaitkan objek yang diamatinya dengan pengalaman tertentu, dengan fungsi objek, dan dengan menciptakan makna-makna yang terkandung dalam objek itu. Penciptaan makna-makna itu terkadang meluas, sesuai dengan kebutuhan individu (Fisher, Bell, & Baum, 1984). Contoh dari persepsi itu ialah individu mengamati sebuah pohon besar dengan batangnya yang besar dan daunnya rimbun. Persepsi yang muncul adalah sebuah benda yang dapat menjadi peneduh yang menyenangkan, tempat untuk pesta kebun, tempat untuk berpose bagi penganti yang senang dengan hal-hal yang alami, atau bisa juga sebagai tempat yang mengerikan karena banyak hantunya. Pohon itu juga bisa berfungsi penyumbang devisa negara dengan cara dijual, dan juga untuk kayu bakar.
Persoalan yang muncul dengan persepsi adalah manusia terlalu kreatif dalam menciptakan persepsi berdasarkan manfaat. Dampaknya adalah keseimbangan ekologi menjadi terguncang. Dampak yang segera muncul akibat terlalu kreatifnya manusia adalah penggundulan hutan, banjir, serta keanekaragaman flora dan fauna turun. Kalau melihat dampak yang mengerikan itu, maka sebenarnya bukan persepsi manusia yang terlalu kreatif, tetapi persepsi manusia yang terlalu serakah. Manusia ingin memanfaatkan semua isi bumi secepat-cepatnya tanpa memikirkan kebutuhan makhluk lainnya.
Bagaimana cara menjelaskan persepsi dalam bentuk skema? Berikut adalah skema persepsi yang dikemukakan oleh Paul A. Bell dan kawan-kawan (dalam Sarwono, 1995).
 Gambar 1. Skema persepsi

Gambar 1 menunjukkan bahwa individu menghadapi/mengamati dan ingin memahami suatu objek fisik yang ada di lingkungannya. Objek fisik itu mempunyai sifat-sifat tertentu misalnya pohon besar mempunyai sifat daunnya banyak dan batang kayunya besar (nyaman untuk berteduh), buahnya banyak, enak dimakan dan tempat bergantung buah mudah dijangkau (pohon itu memang menyenangkan). Individu juga mempunyai sifat, pengalaman, pengetahuan, dan ketrampilan tertentu. Misalnya individu itu bersifat penyabar, pengalamannya luas dan ia sering berada di tempat-tempat konservasi hutan karena profesi pekerjaannya. Ia juga mempunyai ketrampilan merawat pohon karena semenjak kecil ia dilatih orangtuanya untuk peduli pada lingkungan hidupnya. Oleh karena itu ia berpengalaman dalam bidang konservasi hutan.

Kini, ia berhadapan dengan situasi baru yang mana banyak pohon besar tumbuh di sekelilingnya. Untuk memahami lingkungan barunya, ia melakukan persepsi. Apabila lingkungan barunya tersebut dipersepsikan hampir sama dengan tempat kerjanya yang lama, maka penyesuaian dirinya berlangsung cepat dan mulus. Hal ini karena lingkungan barunya tersebut dipersepsikan masih dalam batas-batas optimal. Dampaknya adalah keadaan individu tetap kosntan dan stabil, atau disebut sebagai homeostatis. Dalam situasi homeostatis, individu akan merasa nyaman dan ia akan berusaha untuk mempertahankan situasi itu.
Apabila situasi baru yang dihadapi individu ternyata sangat berbeda dengan situasi-situasi yang pernah dialaminya (misalnya pohon yang dihadapinya terlalu besar), maka individu mungkin akan mempersepsikan bahwa situasi baru itu di luar batas optimal. Menghadapi pohon yang sangat besar membuatnya stress, sehingga ia berusaha untuk mengatasi stress tersebut (coping behavior). Apabila usaha individu mengatasi stress itu sukses maka ia telah melakukan adaptasi (penyesuaian diri, mengubah diri agar sesuai dengan lingkungan) atau melakukan adjustment (mengubah lingkungan agar sesuai dengan dirinya). Contoh perilaku adaptasi itu antara lain menjadikan pohon besar itu sebagai rumahnya karena batang pohon tu ada lubang besarnya. Dampaknya individu menjadi nyaman berhadapan dengan pohon besar. Contoh perilaku adjutment yaitu menggergaji ranting-ranting dahan agar tidak terlalu rimbun sehingga situasi di sekeliling menjadi lebih terang, meskipun ia tidak perlu menebang pojon itu. Apabila pengalaman berhasil mengatasi stress ini terjadi berulang-ulang, maka toleransi individu terhadap kegagalan menjadi rendah. Ia berusaha keras agar terus berhasil. Individu juga mengembangkan kemampuan untuk menghadapi stimulus-stimulus baru. Adjustment ini merupakan tanda bahwa manusia tidak mau begitu saja tunduk pada gejala-gejala alam.
Apabila usaha individu dalam mengatasi stress ternyata gagal dan bila kegagalan itu berulang kali terjadi, maka situasi itu merupakan kondisi bagi individu meyakinkan dirinya bahwa ia memang orang yang tidak mampu. Istilah dalam psikologi yaitu learned helplessness atau rasa tidak berdaya. Rasa tidak berdaya itu merupakan hasil belajar (Myers, 1994). Ini adalah salah satu bentuk dari gangguan mental serius. Sebagai ilustrasi, individu berusaha untuk menggergaji pohon besar (stimulus) itu karena pohon itu menghalanginya. Oleh karena gergaji yang dimilikinya hanya kecil saja, maka usaha memotong pohon besar itu gagal. Kegagalan terus-menerus untuk menggusur pohon besar itu, membuat individu percaya bahwa ia memang dilahirkan dengan kemampuan yang rendah dalam mengatasi hambatan lingkungan hidup.
Dalam pembahasan tentang persepsi terhadap lingkungan hidup, hal yang paling penting adalah coping behavior atau usaha-usaha individu untuk mengatasi stress akibat situasi lingkungan hidup tidak nyaman. Pengetahuan tentang perilaku pengatasan stress ini penting untuk berbagi pengalaman, sehingga kita semua mampu berpikir alternatif ketika menghadapi kesuntukan akibat situasi lingkunga hidup di sekeliling tidak nyaman. Berikut adalah contoh-contoh perilaku mengatasi stress pada lingkungan yang tidak nyaman.

  • Menunggu lampu merah di jalan pada siang hari yang terik dengan kendaraan sepeda motor adalah situasi yang sangat tidak nyaman. Upaya yang dapat dilakukan antara lain berteduh di balik bayangan bis besar, berteduh di pohon dekat lampu merah, dan membayangkan minuman segar di rumah yang segera akan dihabiskan. Tiga perilaku yang tidak disarankan antara lain membuka telepon genggam karena perilaku semacam ini sangat rawan kejahatan, merokok karena abu rokok membahayakan keselamatan pengendara sepeda motor yang ada di dekatnya, dan membunyikan klakson terus-menerus karena hal itu membuat kebisingan dan menjengkelkan pengendara lainnya.
  • Menghadiri kuliah wajib pada siang hari, perut lapar, mata pelajaran tidak menarik, dan dosennya juga menjemukan. Alternatif perilaku antara lain membuat gambar kartun sebagai ilustrasi tulisan di blog / media massa, dan mempersiapkan materi pelajaran lain yang lebih menarik. Tentu saja perilaku tersebut sifatnya personal, dan perlu adanya antisipasi sebelum kuliah berlangsung. Adanya antisipasi maka individu dapat menyiapkan materi yang menarik yang akan diselesaikan pada saat pelajaran yang membosankan itu berlangsung. Perilaku yang tidak disarankan adalah membuka telepon genggam, karena perilaku itu tidak sopan dilakukan pada saat kuliah berlangsung. Bahkan mungkin saja dosen akan marah / tersinggung bila mahasiswa lebih memperhatikan isi telepon genggam daripada isi kuliah. Akan lebih sopan bila mahasiswa meminta ijin keluar ruangan untuk keperluan menelepon. Alternatif lain dalam menghadapi dosen yang menjemukan adalah dengan mempersepsikan bahwa keberadaan dosen merupakan lahan untuk eksperimen perubahan perilaku (Shinta, 2012)
  • Menunggu dosen yang mempunyai hobi terlambat pada kampus yang kumuh dan kotor. Upaya mengatasi stress antara lain segera menghubungi bagian tata usaha untuk memastikan bahwa dosen datang untuk memberikan kuliah. Sambil duduk menanti kedatangannya, mahasiswa dapat segera menyiapkan materi pelajaran yang kira-kira akan diberikan, meringkas materi pelajaran yang terdahulu, dan merancang pertanyaan-pertanyaan yang akan dikemukakan pada saat kuliah nanti. Perilaku yang tidak disarankan adalah menambah kekumuhan kampus, karena halaman kampus bukan merupakan tong sampah yang besar.
Mungkin masih banyak situasi lingkungan hidup yang tidak menyenangkan, dan kita harus berkutat dengan situasi itu. Persoalan yang penting adalah bagaimana memunculkan kreativitas perilaku untuk  mengatasi situasi yang tidak nyaman itu. Perilaku yang dipilih hendaknya tidak melanggar peraturan, tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain, bahkan menginspirasi orang lain untuk lebih peduli pada lingkungan hidup/ lingkungan sosial.
Diskusi tentang persepsi terhadap lingkungan sekeliling, tentu menimbulkan pertanyaan mengapa persepsi orang-orang bisa berbeda-beda padahal stimulus yang dihadapinya sama. Perbedaan persepsi ini terjadi karena ada lima faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan persepsi yaitu budaya, status sosial ekonomi, usia, agama, dan interaksi antara peran gender, desa/kota, dan suku (Sarwono, 1995).
Budaya kuat peranannya dalam mempengaruhi persepsi masyarakat. Sebagai contoh, suku-suku Afrika primitif terbiasa dengan lingkungan alamiah yang mana banyak benda-benda alamiah yang sifatnya melingkar-lingkar. Dampaknya adalah mereka tidak terpengaruh oleh gejala ilusi Muller-Lyer. Hal ini berbeda dengan masyarakat perkotaan yang terbiasa dengan benda-benda yang bentuknya kotak-kotak dan garis. Dampaknya masyarakat perkotaan terpengaruh oleh gejala ilusi Muller-Lyer (Fisher et al., 1984; Sarwono, 1995).
Persepsi juga dipengaruhi oleh status sosial ekonomi (Sarwono, 1995). Penduduk yang kurang beruntung keadaan ekonominya cenderung menggunakan air sungai Cikundul di Cianjur Jawa Barat untuk kebutuhan mandi, mencuci dan memasak. Penduduk yang lebih beruntung status sosial ekonomi, sebaliknya, mengambil air sungai Cikundul langsung dari sumbernya dengan menggunakan pipa (Nurlia, 2006). Penelitian di Danau Tempe, sebaliknya, justru menunjukkan hasil bahwa faktor status sosial ekonomi dan pendidikan tidak mempengaruhi terbentuknya persepsi tentang perlunya konservasi danau (Dewi & Iwanuddin, 2005).
Usia juga berpengaruh terhadap pembentukan persepsi. Anak-anak mempersepsikan seterika listrik dan pisau sebagai mainan, sedangkan orangtuanya mempersepsikan benda-benda itu berbahaya (Sarwono, 1995). Pada penelitian lain justru ditemukan bahwa usia tidak mempengaruhi persepsi untuk konservasi danau. Penduduk usia muda dan tua di sekitar Danau Tempe sama saja persepsinya tentang konservasi Danau Tempe di Sulawesi Selatan. Tidak ada anggota masyarakat yang tergerak untuk melakukan konservasi Danau Tempe, meskipun mereka mengetahui kerusakan danau dan manfaat danau dalam kehidupan sehari-hari (Dewi & Iwanuddin, 2005).
Agama juga berpengaruh terhadap terbentuknya persepsi terhdap lingkungan. Di pesantren, warga perempuan cenderung duduk terpisah dengan warga laki-laki walaupun tidak ada tulisan atau petunjuk tentang pemisahan tempat duduk ini (Sarwono, 1995). Di Bali, penduduk beragama Hindu didorong untuk peduli dengan konervasi lingkungan hidup, karena konservasi merupakan salah satu bentuk dari ibadah (Sridanti, 2012).
Interaksi peran gender, lokasi tempat tinggal (desa / kota), suku berpengaruh terhadap terbentuknya persepsi. Hal ini terlihat pada Tabel di bawah ini:
Tabel 1. Persepsi tentang jumlah anak yang diinginkan
Suku
Desa
Kota
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Jawa
1,82
2,93
1,15
3,57
Sunda
1,66
3,10
1,48
2,82
Minang
2,33
3,33
1,40
3,27
Batak
3,25
4,16
1,53
3,60
Tionghoa
--
--
0,93
2,84
Sumber: Ancok, 1988 dalam Sarwono, 1995.
Tabel 1 menunjukkan bahwa laki-laki lebih suka mempunyai anak banyak dibanding perempuan. Kecuali laki-laki Jawa dan Tionghoa, laki-laki suku Sunda, Minang, Batak di desa lebih suka mempunyaia naka banyak daripada laki-laki kota. Mengapa terjadi perbedaan persepsi tentang jumlah anak yang diharapkan antara perempuan dan laki-laki, antara penduduk desa dan kota, antara suku Jawa dengan suku-suku lainnya?
Orang desa lebih suka mempunyai anak banyak daripada orang kota, mungkin karena manfaat ekonomi. Orangtua di desa dapat memanfaatkan anak-anaknya sebagai tenaga kerja di sawah. Orangtua di kota, cenderung menilai anak sebagai sektor yang membutuhkan biaya sangat banyak, misalnya untuk biaya pendidikan. Perempuan lebih suka anak sedikit daripada laki-laki mungkin karena perempuan merasa terbebani oleh tugas rumah tangga yang hampir selalu dibebankan pada perempuan daripada laki-laki (Siregar, 2003).
Sekali lagi perlu ditekankan dalam tulisan ini bahwa persepsi terhadap lingkungan hidup penting, sebagai salah satu dasar bagi munculnya perilaku yang lebih pro terhadap pelestarian lingkungan hidup. Meskipun demikian, persepsi tidak selalu berkorelasi dengan perilaku. Hal ini tercermin dari penelitian di Danau Tempe yang mana penduduk sekitar danau sudah menyadari pentingnya konservasi danau, namun jarang ada penduduk yang bersedia terlibat dengan suka rela melakukan konservasi danau (Dewi & Iwanuddin, 2005). Mungkin kita semua perlu berkaca pada Ikhwan Arief, Ketua Kelompok Nelayan Ikan Hias Samudera Bakti Desa Bangsring Banyuwangi (Cahyaningrum, 2013). Ikhwan Arief bersedia mengkonservasi terumbu karang, bahkan dengan dana dari kantongnya sendiri. Kita semua hendaknya perlu merenung bahwa bumi seisinya ini adalah titipan anak cucu kita. Kita sebagai orangtua yang bertanggung jawab, wajib mengembalikan bumi ini seisinya kepada anak cucu kita dalam kondisi yang jauh lebih baik. 


oleh:Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar